Rabu, 27 Oktober 2010

asuransi

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan tak lepas dari berbagai pesoalan, baik itu dari segi sosial, budaya, lingkungan masyarakat, maupun lingkungan keluarga. Realitanya kebanyakan masalah bersumber dari keluarga, menyangkut permasalahan ekonomi. Kemudian timbul suatu keinginan untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Salah satunya adalah dengan jalan mengasuransikan. Anggapan mereka bahwa dengan asuransi bisa membantu kesulitan yang dihadapi. Namun, bilamana ditinjau dari segi Islam belum tentu semua orang paham tentang hukumnya.
Banyak yang mengatakan bahwa Asuransi Syariah atau ada yang menyebutnya Asuransi Islam atau bisa juga asuransi taawun, tidak jauh berbeda dengan Asuransi biasa yang selama ini sudah dikenal tanpa embel-embel syariah, yang intinya ialah suatu pertanggungan dari perusahaan Asuransi berupa sejumlah uang dalam jumlah tertentu kepada peserta bila mengalami musibah ( resiko ), melalui pembayaran konstribusi ( premi ) dari peserta, Perbedaannya barangkali hanya masalah halal dan haram,serta istilah istilah arab yang melekat di dalamnya.
Berikut akan dibahas lebih lanjut mengenai pengertian, peraturan-peraturan yang mengatur, prinsip-prinsip, hukum serta prinsip-prinsip asuransi Islam.







BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Asuransi Islam
1. Kata asuransi berasal dari bahasa Belanda assurantie (asuransi), yang dalam hukum Belanda disebut dan verzekering yang artinya pertanggungan.
2. Dalam bahasa Inggris, asuransi disebut insurance bermakna asuransi juga jaminan,
3. Dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa populer dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padanan kata “pertanggungan”.
4. Dalam Bahasa Arab, padanan kata Asuransi diantaranya: (ta’min), takaful, yang berarti saling menanggung atau menanggung bersama.

B. Peraturan Perundangan-undangan tentang Asuransi Islam
1. Keputusan menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 426/ KMK. 06/ 2003 Tentang Perizinan Usaha dan kelembagaan Perusahaan dan Perusahaan Reasuransi. Peraturan inilah yang dapat dijadikan dasar untuk mendirikan asuransi Islam sebagaimana ketentuan dalam pasal 3 yang menyebutkan bahwa “Setiap pihak dapat melakukan usaha asuransi atau usaha reasuransi berdasarkan prinsip syariah....”ketentuan yang berkaitan dengan asuransi syariah tercantum dalam pasal 3-4 mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh izin usaha perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah, pasal 33 mengenai pembukaan kantor cabang dnegna prinsip syariah dari perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.

2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 424 / KMK. 06 / 2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Ketentuan yang berkaitan dengan asuransi Islam tercantum dalam Pasal 15-18 mengenai kekayaan yang diperkenankan harus dimiliki dan dikuasai oleh perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi dengan prinsip syariah.
3. Keputusan direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep. 4499 / LK/ 2000 Tentang Jenis, Penilaian dan Pembatasan Investasi Perusahaan Reasuransi dengan Sistem Syariah.

C. Prinsip-Prinsip Asuransi Islam
1. Saling tanggung jawab
Hadist Nabi Muhammad SAW:
“Setiap orang dari kamu adalah pemikul tanggung jawab dan setiap kamu bertanggung jawab atas orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.” (diriwayatkan oleh Al Bukhori dan Muslim).
2. Saling bekerja sama untuk bantu - membantu
QS. Al Maidah (5) : 2
.......           ....
 “.........dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran........”
3. Saling melindungi dari segala kesusahan
QS. Quraisy (106): 4
       
“(Allah) yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

D. Hukum Asuransi Islam
Di kalangan ulama dan cendekiawan Muslim ada 4 (empat) pendapat tentang hukum asuransi, yakni:
1. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa
2. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya sekarang ini
3. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial
4. Menganggap syubuhat.
Pendapat pertama didukung antara lain Sayid Sabiq pengarang Fiqhus Sunnah, Abdullah Al-Qalqih, mufti Yordania, muhammad Yusuf al-Qardhawi pengarang Al-Halal wal Haram fii Islam. dan Muhammad Bakhit al-Muth’i, Mufti Mesir. Alasan-alasan mereka yang mengharamkan asuransi itu antara lain sebagai berikut:
1. Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi
2. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti
3. Mengandung unsur riba/rente.
4. Mengandung unsur eksploatasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau akan dikurangi uang premi yang telah dibayarkan.
5. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktek riba (kredit berbunga).
6. Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carne).
7. Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis. yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Mahakuasa.
Pendukung pendapat kedua antara lain ialah: Abdul Wahab Khallaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syariah Universitas Syria, Muhammad Yusuf Musa. Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir, dan Abdurrahman Isa, pengarang Al-Muamalat al-Haditsah wa Ahkamuha.
Alasan mereka yang membolehkan asuransi termasuk asuransi jiwa antara lain sebagai berikut:
1. Tidak ada nas Al Qur’an dan Hadis yang melarang asuransi.
2. Ada kesepakatan/kerelaan kedua belari pihak.
3. Saling menguntungkan kedua belah pihak.
4. Mengandung kepentingan umum (maslahah amah). Sebab premi-premi yang terkumpul bisa diinvestasikan untuk proyek-provek yang produktif dan untuk pembangunan.
5. Asuransi termasuk akad mudharabah, artinya akad kerjasama bagi basil antara pemegang polis (pemilik modal dengan pihak perusahaan asuransi yang memutar modal atas dasar profit and loss sharing- (PLS).
6. Asuransi termasuk koperasi (Syirkah ta ‘awuniyah)
7. Diqiyaskan (analogi) dengan sistem pensiun, seperti Taspen.
Pendukung pendapat ketiga antara lain ialah: Muhammad Abu Zahrw , Guru Besar Hukum Islam pada Universitas Cairo Mesir. Alasan mereka membolehkan asuransi yang bersifat sosial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat kedua. sedangkan alasan yang mengharamkan asuransi yang bersifat komersial pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.
Adapun alasan mereka yang menganggap asuransi syubhat, karena tidak ada dalil-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan atau pun menghalalkan asuransi. Dan apabila hukum asuransi di kategorikan syubuhat maka konsekuensinya adalah kita dituntut bersikap hati-hati menghadapi asuransi dan kita baru diperbolehkan mengambil asuransi, apabila dalam keadaan darurat atau hajat/kebutuhan.
E. Sifat Asuransi Islam
1. Asuransi yang bersifat Bisnis
Pada asuransi ini terdapat dua pihak yang terpisah kepentingannya, yaitu pihak penanggung (perusahaan) dan pihak tertanggung (peserta). Pihak penanggung menghendaki uang premi yang dibayarkan, sedangkan pihak yang tertanggung menghendaki pembayaran ganti rugi atas resiko yang dipertanggungjawabkan. Semua pembayaran premi yang telah diberikan menjadi milik penanggung sebagai imbalan dari bisnis pertanggunggan dalam waktu yang telah disepakati.

2. Asuransi yang bersifat Kolektif
Asuransi ini disebut juga asuransi timbal balik atau kooperatif, yaitu pihak pemberi pertanggunggan (perusahaan) dan penerima jasa (peserta) seluruhnya berada dalam satu pihak sebagai pengelola asuransi.
3. Asuransi sosial
Jenis asuransi ini biasa dilakukan oleh pemerintah dengan tujuan memberikan manfaat untuk masa depan rakyatnya, yaitu dengan cara memoting sebagian gaji para pegawai dan pekerja.
Contoh : asuransi dana pensiun, asuransi kesehatan, keselamatan kerja dan lain-lain.

Dari ketiga macam asuransi di atas jika dilihat manfaat yang diperoleh masing-masing pihak, para ulama umumnya memberi nilai sebagai berikut. Untuk asuransi yang bersifat bisnis, terdapat keberatan para ulama dikarenakan hal-hal berikut ini:
a. Asuransi bisnis tergolong perjanjian kompensasi finansial spekulatif yang mengandung unsur “untung-untungan” (masyir) dan “ketidakjelasan” (gharar). Hal ini dikarenakan pihak yang akan menerima manfaat asuransi pada saat perjanjian tidak mengetahui jumlah uang yang akan ia berikan dan akan ia terima.
b. Asuransi bisnis mengandung unsur riba, yaitu riba fadhal dan riba nasi’ah, jika perusahaan asuransi membayar kepada pihak penerima jasa (ahli waris) lebih dari jumlah uang yang telah disetorkan, berarti tergolong riba fadhal, namun jika perusahaan asuransi membayar kepada pihak nasabah sebesar yang dia setorkan saja dan dibayar setelah beberapa waktu, berarti tergolong riba nasi’ah.
c. Termasuk mengambil harta orang tanpa imbalan dan mengandung unsur pemaksaan terhadap hal yang tidak disyariatkan. Hal ini bertentangan dengan QS. An-Nisa : 29.

Sedangkan asuransi yang bersifat kolektif, sesuai keputusan majelis dengan ketetapan secara mufakat dari Ha’ah Kibrar al-Ulama di Saudi Arabia Nomor 51 Tanggal 4/4/1397 Hijrah tentang diperbolehkannya menyelenggarakan asuransi kooperatif berdasarkan dalil-dalal berikut.
a. Adanya perjanjian amal kebaikan berdasarkan gotong royong dalam menghadapi bahaya, serta bekerja sama memikul tanggung jawab ketika terjadi musibah.
Caranya adalah dengan memberikan andil atau saham darti beberapa orang dengan jumlah uang tertentu yang secara khusus diberikan kepada orang yang tertimpa musibah.
b. Tidak mengandung unsur riba, baik riba fadhal ataupun nasi’ah (perjanjian orang-orang yang memberikan saham uang itu bukanlah riba)
c. Kelompok pemberi saham (orang yang mewakili mereka) berusaha melakukan pengembangan modal dari semua saham yang terkumpul untuk merealisasikan tujuan dari kerja sama tersebut
Mengenai asuransi sosial yang dikoordinir oleh negara, meskipun ada unsur pemaksaan dengan jalan pemotongan gaji bagi para peserta yang biasanya sebagai pegawai pemerintah, namun mengingat manfaat dari asuransi sosial tersebut di masa mendatang maka sebagian ulama membolehkan. Hal ini dikarenakan pemotongan gaji di muka untuk diambil pada saat para pegawai pensiun atau meninggal dunia dapat disamakan dengan tabungan untuk hari tua.













BAB III
PENUTUP

Dari uraian-uraian diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada prinsipnya semua asuransi termasuk asuransi jiwa itu boleh menurut pandangan islam.
2. Untuk memasyarakatkan asuransi di kalangan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, hendaknya pihak perusahaan asuransi mengadakan prmbaharuan manajemen dan sistem asuransi dengan memperhatikan prinsip-prinsip dan jiwa syariat islam.
3. Dana yang terkumpul berupa premi-premi yang dibayar oleh para pemegang polis kepada perusahaan asuransi, hendaknya dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
4. Sebagian keuntungan dari usaha asuransi hendanknya digunakan untuk kepentingan sosial dan agama.
5. Majelis ulama Indonesia Pusat sebagai pembawa aspirasi umat Islam Indonesia hendaknya segera mengeluarkan fatwa hukum asuransi agar uamt Islam Indonesia mempunyai pandangan dan pegangan yang lebih mantap terhadap asuransi.













DAFTAR PUSTAKA
http://s3s3p.wordpress.com/2010/01/12/asuransi-menurut-ulama-dan-cendikiawan-muslim/
http://www.dakwatuna.com/2010/perasuransian-dan-hukum-asuransi-dalam-islam-bagian-ke-1/
Mumthahhari, Murtadha. 1995. Pandangan Islam Tentang Asuransi dan Riba’. Cet. 1. Bandung: Pustaka Hidayah.
Wirdyaningsih, et al. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Ed. 1. Cet. 7.Jakarta: Kencana Prenada Media.
Zuhdi, Masjfuk. Masail Fiqhiyah